Suasana Benteng Pendem, Nusakambangan |
Salah satu impianku ketika kuliah
adalah mengunjungi rumah teman-teman kampus di kampung halaman masing-masing.
Inspirasi ini aku peroleh dari kakakku, Erna, yang semasa kuliah lebih senang
menghabiskan waktu liburnya untuk main ke rumah temannya di kampung halaman
masing-masing atau naik gunung ketimbang pulang ke rumah. Aku juga sepakat
dengannya, lumayan itung-itung mendukung salah satu hobiku, travelling. Namun
sayangnya karena kesibukan di kampus, hanya 1-2 kota dan rumah teman yang
sempat aku singgahi. Yang paling sering adalah Jakarta, ibukota Indonesia yang
luar biasa itu.
Waktu itu aku dapat kabar bahwa
salah satu seniorku di kampus akan melangsungkan pernikahan di Cilacap, dan
kebetulan Cilacap juga tempat salah satu teman di kampus. Karena merasa suatu
utang budi bahwa aku telah banyak mendapatkan ilmu dari senior tersebut, Mas
Duta (Elektro’07) dan Mba Milly (Lingkungan’07), aku memutuskan harus datang di
acara walimahan mereka berdua. Aku mengajak beberapa teman untuk pergi ke sana.
Dengan menyewa sebuah mobil, akhirnya kami berempat, aku, Nisa, Dias, dan Tini
berangkat ke Cilacap. Berangkat tengah malam dari Semarang, melewati jalur
selatan, dan akhirnya sampailah kami di Kabupaten Cilacap.
Di sini aku akan bercerita
tentang salah satu tempat wisata yang sempat aku kunjungi di Cilacap, ialah
Benteng Pendem. Benteng Pendem berada pada jarak sekitar 3 km ke arah selatan
pusat Kota Cilacap, bisa ditempuh hanya dengan 15 menit. Kompleks Benteng
Pendem berada di area Pantai Teluk Penyu, tetapi atas saran dari salah satu
warga sekitar, akhirnya yang menjadi rujukan kami adalah Benteng Pendem yang
berada di dalam Pulau Nusakambangan bagian timur yang baru saja ditemukan dan
dilakukan penggalian.
Untuk sampai di Pulau
Nusakambangan, kami menggunakan perahu wisata. Setelah proses tawar menawar
kami harus mengeluarkan uang Rp 15.000 per orang. Karena takut dengan perahu
yang begitu kecil, kami memanfaatkan life jacket yang sudah disediakan. Tak
lebih dari 15 menit akhirnya kami sampai di Pulau Nusakambangan.
Untuk memasuki kawasan wisata
Benteng Pendem per orang dikenakan biaya sebesar Rp 10.000. Sebenarnya harga
ini relatif lebih mahal dibandingkan tempat wisata serupa di tempat lain, tapi
tak apalah, uang yang kita keluarkan nantinya akan memberikan kontribusi untuk
pelestarian dan pembangunan infrastruktur di sekitar tempat wisata.
Menurut informasi yang saya
peroleh, Benteng Pendem merupakan benteng peninggalan Kolonial Belanda dan
menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Cilacap kala itu. Benteng ini digunakan
sebagai markas pertahanan Belanda pada massa penjajahan. Pada tahun 1942
Benteng Pendem jatuh ke tangan Jepang, dan pada tahun 1945 karena bom atom yang
meluluhlantahkan Nagasaki dan Hiroshima akhirnya benteng tersebut dapat
dikuasai oleh TNI.
Arsitektur Benteng Pendem sangat
unik, banyak ruangan yang ada di dalamnya, tetapi karena masih terkubur di
dalam tanah sehingga masih butuh waktu untuk penggalian. Mungkin sebab itulah
benteng ini dinamakan Benteng Pendem. Dalam bahasa Jawa, pendem berarti terkubur.
Di sekitar Benteng Pendem masih
dapat dirasakan suasana sejuk hutan tropis. Jalan setapak yang kami lewati
masih tanah asli dan bebatuan, belum diaspal. Berbagai pohon dan akar-akaran
masih tumbuh subur bahkan berada di badan benteng. Semua begitu asli dan alami.
Namun, sayangnya karena tangan-tangan nakal, di badan benteng membekas
corat-coretan yang justru mengurangi keindahan benteng.
Bagiku Benteng Pendem adalah
catatan yang tak ternilai harganya. Ialah bukti sejarah yang senantiasa menjadi
torehan perjuangan keras Bangsa Indonesia dan menjadi warisan bagi anak cucu
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar