Kepergiannya begitu berat
bagiku, dia yang dulu sangat dekat, selalu mendekapku erat, menghangatkanku di
antara kekisruhan. Aku tak menyangka, bahkan sedikit pun tidak, hal itu akan
terjadi begitu cepat, di saat dunia mulai terbuka, saat burung-burung di seberang
pulau hendak mencari mangsa. Aku justru terlelap dan membiarkannya pergi.
Kejadian yang tak pelan, tapi butuh proses yang lumayan, tiga atau empat
tahun perjalanan. Aku tak pernah paham, tak pernah kusangka sebelumnya, bahkan
sama sekali tak pernah terbesit dalam pikiran dan hati yang luar sekalipun
kalau sekilas pandangan akan meruntuhkannya, membuatnya semua berbeda, dan itu
nyata. Kehilangan ini sangat kentara kurasakan. Betapa tidak, hal ini mengubah
hampir sebagian hidup yang sudah kurangkai kisahnya, bertatih-tatih untuk bisa
bertahan, bertumpu pada kaki-kaki kecil yang entah siapa yang tahu kapan bisa
runtuh. Namun, sedari dulu aku selalu berharap, berharap dengan sangat bahkan
kugadaikan hidupku untuknya, agar dia tidak pergi, agar sebelum semua terjadi
aku dibiarkan terhenti, terhenti dari kefanaan.
Waktu kini sudah kulalui,
terlewati sepanjang lika-liku perjalanan elegi ini. Aku serasa tertidur, tapi
tak pulas juga, sehingga bangun dan tertidur untuk menahannya. Terkadang petunjuk
itu datang lantas aku mampu menghindar, tetapi sekejap hilang lalu berlakuan.
Apatah semua ini hanya ilusi belaka? Aku bukan hidup dalam kejahiliahan, meski
pandai tapi merasa bodoh dan sangat. Ilmu-ilmu berdatangan namun ku belum
paham-paham. Mungkin sekejap, seketika, atau esok yang akan datang, entah kapan
dimana hanya Mereka yang mengerti.