Tuhan selalu bersama dengan prasangka hambaNya.Pada sesi kali ini, Rumah Perubahan memberikan sebuah tantangan bagi tim kami. Misi ini bernama I’m Possible. Dengan lima buah permen merk Mentos yang diberikan, kami harus mampu menukarnya dengan barang yang nilainya sesuai dengan target masing – masing kelompok. Kami diberikan beberapa pilihan target, mulai dari 250.000 sampai lebih dari 650.000 rupiah. Kelompok lain memilih target dengan rentang 350.000 – 450.000, dengan konsekuensi apabila berhasil, maka tim akan memperoleh (+)100 poin, namun apabila gagal akan dikurangi 250 poin. Sedangkan kelompokku sendiri menetapkan target 450.000 – 550.000 dengan nilai konsekuensi berhasil (+)200 poin dan gagal (-)350 poin. Target yang cukup tinggi memang. Untuk itu sebagai ketua tim, aku harus mampu meyakinkan anggota tim agar optimis kami bisa meraihnya.
Pemilihan target tersebut tentu bukan tanpa dasar, aku
sendiri pun sudah memperhitungkan. Kami diajarkan menggunakan kaidah SMART
dalam menentukan sebuah target, yaitu specific, measurable, achievable,
realistic, and time based. Dengan mengantongi 300 poin, artinya tim kami harus
menanggung nilai resiko kegagalan (-)50 poin. Antisipasi agar tim tetap bisa
makan, karena porsi makan dan minum mengurangi poin kami, maka kami harus
menjadi penyedia jasa “Food Service” dimana akan diberikan (+)60 poin, paling
tidak kami akan memperoleh (+)10 poin untuk makan satu tim. Cukup realistis,
bukan?
Perjalanan pun dimulai. Tempat tujuan kami adalah Pasar
Induk Warung Jambu Bogor. Sebelumnya kami telah menyusun rencana. Dengan
berbekal 5 buah permen rasanya cukup mustahil kami dapat memperoleh barang
dengan nilai sebesar yang kami targetkan mengingat tujuan utama kami adalah
pasar tradisional. Para pedagang yang berorientasi keuntungan dan jenis barang
yang dijual menjadi pembatas selain waktu yang diberikan juga cukup singkat,
yaitu hanya tiga jam. Untuk itu kami menyasar perumahan mewah sebagai target
utama. Hal yang kami inginkan ialah barang – barang bekas yang tentu mempunyai
nilai jual yang cukup tinggi. Apa yang akan kami kerjakan di sana?
Bogor siang itu menunjukkan teriknya. Di dalam angkot
seperti biasa kami aktif mengabadikan momen. Tiba – tiba di tengah perhentian
di lampu merah, seorang pengamen mendekat dan menyanyikan lagu. Petikan gitar
dan suaranya yang merdu, membuat kami riang bertepuk tangan, seolah sejenak
melupakan lelah kami, meskipun kami tidak mengenal lagu yang dinyanyikan. Sadar
dengan apa yang kami lakukan, Sosa pun nyeletuk, “kalian menikmati lagunya,
berarti harus mau memberikan upah untuk masnya”. Dan kami pun harus
mengikhlaskan uang 2000 kami tanpa berpikir panjang apakah uang yang tersisa
akan cukup membawa kami berlima kembali pulang ke Cico. Merasa memperoleh uang,
pengamen tersebut pun turut mendoakan supaya misi kami saat itu berhasil.