Well, travelling kali ini
boleh dibilang nekat dan tanpa persiapan sama sekali. Yang tadinya di antara ya
atau tidak. Tapi overall, sangat berkesan. Tak kalah dengan trip – trip
sebelumnya.
Seharusnya jumat malam, aku
dan tim DMS sudah berada di Puncak, menempati sebuah villa mewah, menikmati
kolam renangnya, bertamasya ria ke Taman Bunga, dan seperti kebiasaan ketika di
kantor, berhahahihi dengan mereka. Namun, karena suatu hal yang sebaiknya tidak
ditulis di sini, hal itu batal. Pergi ke Puncak (untuk pertama kalinya) akan
gagal. Agenda refreshing itu pun dialihkan ke Pantai Indah Kapuk, menikmati
permainan air. Namun, batal juga karena ada yang tidak bisa berenang. Kemudian
dialihkan ke Dunia Fantasi alias Dufan. Itu pun batal karena banyak yang kurang
setuju. Fix, pecah sudah isi kepalaku. Rasanya ingin teriak, kenapa semua ini
bisa terjadi?? Impian untuk bersenang – senang melepas penat pun hanya mimpi
belaka.
Kemudian si Ucup, posting di
Group BORAX, menawarkan sebuah perjalanan menarik dengan judul “Pulau Tunda
yang Tertunda”. Tanpa pikir panjang aku pun menerima tawaran menggiurkan itu.
Perlengkapan yang mau dibawa sudah tertata di lemari, uang muka pun sudah
dibayarkan. Namun, team leadernya tetiba mendapat panggilan interview kerja.
Jadilah kebatalan yang terulang itu. Akankah piknikku batal lagi?
Sedih pun melanda. Namun, sepertinya
aku mendapat teman senasib yang haus akan piknik. Ya, ialah si Ucup. Dia
mendapatkan informasi bahwa sedang ada migrasi besar – besaran para rasptors
dari belahan dunia sana ke Indonesia. Suaka Elang, tim pengamat dan
rehabilitasi Elang milik Indonesia ini menjadi penyelenggaranya. Kegiatan
tahunan ini dilaksanakan di Puncak, tepatnya di area paralayang.
Setelah banyak berdiskusi
melalui aplikasi whatsapp, akhirnya kita memutuskan untuk pergi ke Puncak hari
minggu pagi menggunakan moda bus dari Terimal Kampung Rambutan. Malam
sebelumnya, Ucup mengajakku nekat menggembel dulu di Bogor supaya jaraknya lebih
dekat. Namun, karena tidak yakin, maka aku pun menolaknya.
Minggu pagi. Ba’da sholat
subuh, aku pun langsung berangkat menuju Kampung Rambutan dengan menempuh rute
Karet – Kampung Melayu – Kampung Rambutan. Tiba di terminal pukul 5.30, setelah
melewati kemacetan parah di sekitar
Pasar Kramat Jati. Sepertinya pasar ini sedang direnovasi, tapi kenapa harus
dipindah ke jalan dan memenuhi badan jalan seperti itu. Sudah gitu jalanan jadi
kotor, becek, dan beraroma khas pasar. Sepertinya pemerintah harus lebih cerdas
mengurus persoalan semacam ini.
Setibanya di Kampung
Rambutan langsung kucari sesosok Ucup. Tak berlama - lama, Aku dan Ucup
langsung menuju bus yang akan membawa kita berdua ke Puncak. Tidak ada yang
salah dengan bus yang kita naiki, hanya bus ekonomi ini terasa panas dan sesak,
selain tanpa AC, sopir bus dengan sengaja menambah terus jumlah menumpang
meskipun jelas terlihat bahwa bus sudah tidak muat lagi.
Perjalanan ke Puncak overall
cukup nyaman. Ya, hanya sekali dua kali tiga kali lah gangguan datang (Sama
saja berkali – kali). Suasana khas kelas ekonomi (yang seharusnya hal ini sudah
tidak perlu terjadi kalau saja| panjang kalau dibahas di sini) seperti banyak
pedagang asongan, orang - orang (jamak)
yang merokok, dan lain – lain.
Setelah tiga jam perjalanan,
akhirnya kita sampai di Area Paralayang Puncak. Tepat pukul 9.00. Masih pagi
tapi suasana terlihat sudah mulai ramai. Udara segar khas pegunungan
membuncahkan semangatku pagi itu. Rasanya ingin membawa udara yang berkualitas
ini ke Jakarta. Sesampainya di area paralayang, kita langsung berkenalan dengan
sang empunya acaranya. Tanpa banyak basa – basi si Ucup dengan gaya khasnya
mampu dengan cepat menarik perhatian mereka. Kurang lebih tiga jam, kita
menikmati suasana Puncak sambil belajar banyak hal dan menambah pengetahuan
dari aktivitas yang sedang dikerjakan oleh Suaka Elang.
Sekedar informasi. Aktivitas
migrasi para elang ini terjadi setiap tahun, dikenal dengan Autumn Migration.
Alasannya karena di tempat mereka berasal akan terjadi musim dingin atawa
winter, sehingga mereka mencari tempat yang hangat untuk tinggal, dipilihlah
Indonesia. Nusantara kita yang terkenal dengan iklim tropisnya ini, ternyata
tidak hanya disukai dan dikagumi oleh umat manusia saja, ternyata makhluk lain
sejenis elang pun suka. Patutlah kita sebagai Bangsa Indonesia bersyukur dapat
tempat tinggal yang nyaman yang dicari – cari banyak kalangan.
Perjalanan para raptor untuk
menuju Indonesia tentu bukanlah hal mudah. Mereka harus melewati perjalanan
dengan jarak yang sangat jauh, melewati Asia Timur lalu sebagian melewati
Malaysia kemudian Sumatera, dan sebagian lagi melewati Filipina kemudian
Kalimantan dan Sulawesi, kemudian melewati Pulau Jawa sampai akhirnya bermuara
di Bali dan Nusa Tenggara. Namun, ada juga yang tetap bertahan di Filipina.
Para elang ini juga tidak
sendirian, mereka membentuk koloni dengan jenisnya masing – masing. Terdapat
berbagai macam elang yang bermigrasi, di antaranya jenis Elang alap Cina (Accipiter
soloensis), Elang alap Jepang (Accipiter gularis), Elang Asia, dan lain - lain.
Selama di Puncak, kita
melihat banyak elang beterbangan di area paralayang. Sesekali mereka malu –
malu mendekat, tapi itu sangat jarang. Dengan bantuan teropong binocular, elang
– elang tersebut semakin jelas terlihat. Bagi para pengamat, mereka dengan
mudah mampu mengidentifikasi jenis elang yang terbang tersebut. Mereka juga
mempunyai kemampuan untuk menghitung jumlah elang yang terbang. Sebenarnya puncak
jumlah elang terbanyak pada pertengahan oktober kemarin, jumlahnya bisa
mencapai ribuan. Kalau diberi kesempatan aku sendiri ingin sekali bergabung
dengan Tim Suaka Elang mengamati dan menghitung elang – elang tersebut tahun
depan.
Puas menikmati Puncak dan
melihat elang – elang yang terbang di atas kepala. Aku dan Ucup memutuskan
untuk pulang. Kali ini kita mendapatkan seorang teman, ialah Rega, mahasiswa
Biologi UNJ. Ternyata siang itu jam tutup jalur Puncak untuk turun. Untungnya
kedua temanku ini anak – anak gunung, jadi tak ada masalah saat aku ajak mereka
berjalan sambil mencari angkot yang posisinya berada di garda paling depan. Si
Ucup ternyata lebih ekstrim lagi. Saar kita tertipu mengira jalan sudah dibuka,
dan kebetulan ada angkot yang bisa menampung kita bertiga, bersegeralah kita
naik. Tapi ternyata itu hanya tipuan belaka, mobil tersebut hanya berjalan maju
beberapa meter. Oleh Ucup kita diajak turun dan melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki lagi. Sekitar dua jam kita berjalan, dari area paralayang sampai
depan Hotel Aljazirah, entah berapa puluh kilometer (lebay). Kita memutuskan
naik angkot menuju Bogor dan kembali ke Jakarta dengan KRL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar