Membaca artikel tulisan Prof. Rhenald Kasali soal “meaning”
yang tersebar di media whatsapp kembali membangkitkan semangatku untuk menulis
lagi. Aku ingin sedikit sharing soal “meaning”. Hal ini juga dipicu oleh
beberapa teman kantor yang seketika mengajak diskusi setelah aku share artikel
tersebut di grup whatsapp.
Ini adalah tulisan yang cukup berat bagiku, karena aku
sendiri pun cukup bersusah payah menjalaninya. Banyak godaan yang kadang
meracuni pikiran. Efek minimalnya paling cuma sekedar mengeluh, atau
maksimalnya bisa stress dan menurunkan berat badan.
Bekerja di perusahaan besar, ternama, dan tentu dengan
posisi dan gaji yang luar biasa merupakan impian banyak lulusan sarjana,
terutama bagi mereka lulusan universitas ternama di Indonesia yang
senior-senior atau bahkan teman-temannya bisa memperoleh posisi tersebut
setelah lulus dari bangku kuliah. Begitu juga denganku, mendambakan dapat
bekerja di perusahaan multinasional yang bergerak di bidang migas, selain gaji
yang tentunya tidak dipertanyakan lagi, perkara gengsi juga terturuti. Namun,
apalah aku sekarang. Ternyata jalan yang ditunjukkan Tuhan berbeda dengan apa
yang kumau dan kuidam-idamkan.
Diterima di perusahaan swasta nasional, bergerak dalam
bidang tower telekomunikasi, dan dengan gaji yang “cukup” tak pernah aku
cita-citakan dan bahkan aku bayangkan sebelumnya. Tower Bersama Group, meskipun
mengklaim sebagai perusahaan tower provider terbesar di Indonesia dengan
segudang prestasinya, tetapi perusahaan ini menurutku belum mampu memberikan
benefit yang “cukup” untuk pegawainya. Kata “cukup” sering aku berikan tanda
kutip agar pembaca nanti bisa memberikan tafsiran sendiri.
Di periode awal aku bekerja dengan gaji yang “cukup”
tersebut, aku merasa sering kekurangan. Dan bahkan sampai sekarang, meskipun
secara besaran sudah naik sekitar 20% dari gaji pertamaku dulu, aku pun masih
merasa belum “cukup”. Aku membuat semacam neraca sederhana untuk menghitung
arus kasku, berapa pemasukan, pengeluaran, serta berapa yang harus aku tabung
setiap bulannya. Sebenarnya gaji tersebut akan “cukup” dengan catatan, aku
tidak tinggal di Jakarta, apalagi pusatnya Jakarta, serta mampu mengerem gaya
hidupku. Aku gemar sekali jalan-jalan aka travelling, yang setiap kali jalan
minimal bisa menghabiskan 300 ribu rupiah. Maksimalnya, silakan direka-reka
tergantung destinasinya.
Untuk memenuhi kebutuhan dan keinginanku tersebut, tidak
jarang akhirnya aku harus berhutang kepada teman dan baru bisa mengembalikannya
setelah gajian tiba. Hal ini tentu sangat memalukan, bagaimana bisa seorang
bujang yang sudah bekerja dan memiliki penghasilan tetap, mengandalkan hutang
untuk men”cukup”i keperluan hidupnya. Namun, hal positif yang bisa aku ambil
adalah tak selamanya aku di posisi tersebut, sesekali teman-temanku yang memberikan
aku pinjaman, mereka berbalik meminjam uang padaku. Aku merasa di detik itu
kekeluargaan kita jusru dipererat.
Dengan teman-teman yang boleh dibilang mempunyai kondisi
senasib tersebut, aku sering berkeluh kesah, begitu pun mereka. Setiap bertemu,
kami saling sharing dan memberikan semangat dan motivasi. Quote – quote hebat
yang dimiliki masing-masing saling dikeluarkan. Hal ini yang membuat satu per
satu mulai bangkit, yang tak jarang setelah beberapa hari, satu per satu juga
mulai luntur lagi, termasuk aku.
Berbagi menjadi Kunci Sederhana Menggapai Kebahagiaan
Berbulan-bulan bahkan lebih dari setahun bekerja, stress
selalu melanda. Bukan soal kerjaan, bagiku itu semua masih bisa ditangani.
Tetapi lagi-lagi soal uang, merasa kurang. Kenaikan harga bbm berimbas pada
kenaikan harga sewa kost, makanan pokok, dan tentu transportasi. Hal ini sangat
berefek terutama bagiku yang kemana-mana selalu mengandalkan transportasi umum. Dalam
kondisi tersebut aku harus lebih teliti mengatur keuanganku. Neraca sederhana
yang kubuat bahkan hampir setiap hari aku buka, untuk mengamati arus kasku.
Perkara beramal, ah hal itu juga sudah kukerjakan. Setiap bulan aku selalu
menyisihkan sedikit gajiku untuk membantu sebuah yayasan yang bergerak di
bidang pendidikan. Aku pikir itu sudah “cukup”, ya meskipun jumlahnya juga
tidak seberapa karena menyesuaikan jumlah gaji yang kuterima. Selebihnya, ya
paling untuk masjid, dan kurasa itu pun juga sudah “cukup”.
Namun, suatu saat aku terinspirasi oleh seorang teman.
Setiap dia pulang kampung, dia selalu memberikan sejumlah uang untuk
saudara-saudaranya yang kurang mampu, yang bagiku nominalnya juga tidak sedikit. Sejenak aku jadi
berpikir, apa aku kurang beramal ya? Selama ini aku merasa pelit, dan terlalu
menjaga uang-uangku. Aku selalu teliti memantau arus kasku, selalu berpikiran
gaji yang aku peroleh tidaklah banyak sehingga aku harus benar-benar
berhati-hati menggunakannya. Mengamati jumlahnya yang kian turun, aku sering
kuatir apakah akan “cukup” sampai tanggal gajian berikutnya tiba.
Dalam rangka pulang kampung kemarin, aku mencoba
mempraktekkan apa yang dilakukan oleh temanku tadi. Sebenarnya ini keluar dari
perencanaan yang telah aku tulis di neraca. Namun, justru apa yang aku rasakan
sangat berbeda. Aku justru merasa puas setelah mendengar cerita dari ibuku
bahwa orang-orang yang aku beri tadi tertawa bahagia mendapatkan pemberian
dariku. Sejenak aku berpikir, selama ini aku sering merasa kurang, dengan gaji
setahun lalu dan bahkan sekarang yang meskipun sudah naik jumlahnya. Apa aku
kurang bersyukur padaMu? Padahal ada Engkau yang selalu mencukupi kebutuhanku.
Kekhawatiranku selama ini toh tidak pernah terbukti. Akhirnya pun uang yang aku
punya selalu “cukup” untukku. Meskipun di awal-awal sempat merasakan berhutang toh aku selalu bisa mengembalikannya tepat
waktu sesuai janjiku. Iya, selama ini aku hanya mengkhawatirkan sesuatu yang
tidak pernah terjadi. Itu sama halnya aku menyangsikan kuasa Tuhan untukku.
Maafkan hamba ya Rabb.
Menjadi “Meaning” itu Penting
Aku memang pernah menolak posisi yang diberikan kepadaku
sekarang. Mengurusi dokumen yang notabene aku lulusan Teknik Industri, bagaimana pun aku adalah seorang Engineer. Terlebih aku juga ditempatkan di departemen baru yang secara sistem masih sangat berantakan.
Tapi kata Division headku, “Orang-orang terbaik tak layak ditempatkan di tempat yang
baik-baik, mereka harus bikin perubahan positif untuk tempat itu”.
Aku selalu berusaha menyukai pekerjaanku dan apa-apa yang
aku kerjakan, meskipun selalu saja godaan datang yang sering membuatku
mengeluh. Salah satu prinsip hidupku adalah “Be the Best of You”, di mana pun
itu aku harus mampu melakukan yang terbaik dan syukur-syukur bisa menjadi yang
terbaik. Aku selalu ingin memberikan kabar baik kepada kedua orang tuaku saat
aku menelpon mereka.
Di perusahaan ini aku mampu menyabet banyak prestasi. Dari
peserta training terbaik “Young Leader Transformation Program” kerjasama antara
TBG dengan Rumah Perubahan-nya Prof Rhenald, lulusan terbaik Officer
Development Program (ODP) Angkatan VII, sampai menjadi Best Knowledge Worker
dalam Knowledge Management Prize 2014. Itu semua bisa aku peroleh berkat kerja
kerasku, semangat dari kedua orang tuaku, dan tentu berkat ridlo-Nya.
Menjadi “meaning” bukanlah berfokus pada gaji, tetapi kepada
seberapa besar kita dapat memberikan manfaat kepada kehidupan ini, salah
satunya dengan mencintai pekerjaan kita sendiri. Gaji akan selalu kurang,
karena besarnya pengeluaran sebanding dengan besarnya gaji, itulah yang
dimaksud gaya hidup. Gaya hidup seseorang sebanding dengan pendapatannya, ingat
saja teori-teori psikologi. Sedangkan “meaning” akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan
sejati. Bagaimana kita mencintai pekerjaan kita, menjaga hubungan baik dengan
lingkungan kita, dan mampu membagi waktu dan penghasilan kita untuk orang-orang
di sekitar kita. Sejumlah pencapain yang akan kita peroleh akan membuat kita merasa
puas, dan kepuasan itulah yang mampu membuat kita bisa bahagia. Bukan gaji yang
membuat kita jadi besar, tetapi “meaning”lah yang mengantarkan kita menjadi
orang besar, dan besarnya gaji akan mengikuti ketika kita dirasa “cukup” pantas
memperolehnya.
Good
BalasHapusbang, ini tadi saya baca blog abang. kebetulan sy saat ini mengikuti TLDP 2020. Boleh sharing bang menjadi ODP terbaik bagaiamana? hehhe, salam bang
BalasHapus